Ibu : ”Arieeeeeeeef, kok masih juga main mobil-mobilannya, Mama kan sudah bilang dari tadi, kamu sekarang harus mengerjakan PR ...
Ibu : ”Arieeeeeeeef, kok masih juga main mobil-mobilannya, Mama kan sudah bilang dari tadi, kamu sekarang harus mengerjakan PR dari sekolah, sebentar lagi kan mau berangkat les”.
Anak : ”Aaaah Mama, nanti dulu deh, Arief kan mainnya baru sebentar banget, belum selesai nih Ma.
Anak : ” ini kan ambulans, ambulansnya lagi antar Lala kerumah sakit, nggak boleh berhenti dijalan harus cepet sampai, kalau berhenti kan kasian Lalanya, nanti nggak cepet sembuh. Brem brem brem brem breeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm!”.
Sepenggal pembicaraan diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang bermain dengan mainannya. Mereka sangat menikmati waktu bermain sehingga tidak jarang mereka lupa makan, lupa belajar bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya jika sedang bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau belajar. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan maunya cuma bermain saja. Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar?
Jika mau melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 – 1980an), sebenarnya justru terlihat kalau anak-anak masa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bermain jika dibandingkan dengan anak-anak pada masa sebelumnya. Beberapa kritikan dari para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) karena sebagian besar waktu terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah sudah sangat sering kita dengar. Sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan ada yang sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer, dll. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan PR, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, jadi kapan dong waktu anak-anak untuk bermain?
Lalu sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain? Orangtua sekarang ini seringkali sangat ambisius terhadap anak-anaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh anak di sekolahnya. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk bermain hendaknya jangan diabaikan karena bermain adalah hal yang penting bagi perkembangan fisik dan mental anak.
*Bermain*
Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya
(Children, Play, and Development) mengatakan harus ada 5 (lima) unsur
dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah:
1. Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat
kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya
mendapatkan uang.
2. Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas
kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
3. Menyenangkan dan dinikmati.
4. Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
5. Dilakukan secara aktif dan sadar.
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.
*Manfaat Bermain*
*Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?*
1. Pastikan dalam jadwal kesibukan anak sehari-hari, masih terdapat waktu luang yang cukup untuk anak bermain.
2. Sesekali ikut bermain bersama anak, pahami dirinya, kegembiraan, ketakutan dan kebutuhannya. Siapa tahu setelah itu tidak lagi menjadi orangtua yang terlalu ambisius.
3. Mendukung kreativitas permainanan anak, sejauh apa yang diperbuat anak dalam permainan bukanlah perbuatan yang kurang ajar, tidak merugikan, tidak menyakiti dan tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. Membimbing dan mengawasi anak dalam bermain, tapi tidak /over/-/protective/. Anak mungkin tidak tahu kalau apa yang dilakukannya dalam permainan adalah perbuatan yang salah, karena itu mereka perlu dibimbing. Tapi jangan bersikap /over-protective/ sampai menghalangi kebebasannya. Misalnya, kalau anak bermain lari-larian dan pernah terjatuh adalah wajar, jadi tidak perlu melarang anak bermain lari-lari karena takut anak jatuh. Tapi kalau anak mengebut ketika bermain sepeda, tentunya perlu dilarang karena berbahaya.
Sekalipun dunia bermain adalah dunia anak-anak, tapi anak membutuhkan peran orangtua untuk dapat berada dalam dunianya itu secara aman dan nyaman. Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya; tapi dengan bimbingan yang tepat dari orangtua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orangtua bahagia. SELAMAT BERMAIN ANAK INDONESIA!(sumber : e-psikologi.com)
Tidak ada komentar